Sabtu, 31 Maret 2012

SIFAT JUJUR

Membiasakan dan Menanamkan Sifat Kejujuran

 

Kejujuran harus ditanamkan sejak kecil. Untuk itu jelas dibutuhkan keteladanan orang tua dalam hal ini. Namun yang terjadi, tanpa disadari orang tua justru memposisikan diri sebagai guru dalam hal kebohongan atau ketidakjujuran.

Sebuah sisi yang kini banyak terlalaikan sepanjang perjalanan membimbing seorang anak adalah kejujuran. Kadang terjadi, orang tua tidak memberikan teguran ketika melihat si anak berbohong kepada temannya. Terkadang pula justru orang tua memberikan contoh buruk kepada si anak dengan berbuat dusta. Bahkan yang lebih parah lagi, orang tua menyuruh si anak untuk berbohong demi keuntungan atau kesenangan orang tuanya.


Mungkin tak asing lagi, orang tua yang tidak berkenan menerima seorang tamu yang datang untuk kepentingan tertentu, untuk berkelit dia berpesan kepada anaknya, “Katakan saja, ayah dan ibu sedang tidak ada di rumah.” Sementara dia bersembunyi di kamar tidurnya. Atau di waktu lain, sang ibu memanggil anaknya pulang bermain, “Ayo pulang, Nak! Ibu kasih kue nanti di rumah.” Ternyata sepulang bermain, tak sepotong kue pun diberikan. Juga terkadang orang tua menyuruh si anak melakukan sesuatu dengan iming-iming hadiah. Namun ketika si anak melaksanakan perintah orang tuanya, tak sesuatu pun yang didapat, atau bahkan kemarahan semata yang dihadapi bila si anak menagih janji. Alhasil, anak belajar berdusta dan ingkar janji justru dari orang tua mereka sendiri.

Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala sajalah kita mohon pertolongan dari kerusakan semacam ini. Padahal semestinya orang tua membimbing, mengarahkan dan mengajarkan pada anak-anak untuk senantiasa jujur, dalam ucapan maupun perbuatan, serta menjauhi kedustaan dan ingkar janji.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar senantiasa berbuat jujur: 

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 119)

Jujurlah kalian dan berpeganglah selalu dengan kejujuran, niscaya kalian termasuk orang-orang yang jujur dan akan selamat dari kebinasaan, serta Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan kelapangan dan jalan keluar dalam berbagai urusan kalian. (Tafsir Ibnu Katsir 4/160)

Banyak sudah peringatan dari dusta yang disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Di antaranya beliau katakan bahwa dusta akan menggiring si pendusta untuk berbuat berbagai kejelekan. Demikian yang beliau kabarkan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radiyallahu anhu:

“Sesungguhnya kejujuran membimbing pada kebaikan, dan kebaikan akan membimbing ke surga. Dan seseorang senantiasa jujur dan membiasakan untuk jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta membimbing pada kejahatan, dan kejahatan akan membimbing ke neraka. Dan seorang hamba senantiasa berdusta dan membiasakan untuk dusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607)

Hadits mengandung anjuran agar seseorang berupaya membiasakan diri untuk jujur dan menjadikan kejujuran sebagai tujuan dan perhatiannya. Di samping itu, ada peringatan dari kedustaan dan sikap menggampangkan dusta, karena apabila seseorang biasa bermudah-mudah dalam dusta, maka dia akan sering berdusta hingga dikenal dengannya. Dan seseorang akan dicatat di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai orang yang jujur bila dia membiasakannya, atau sebagai pendusta bila ia terbiasa dengannya. (Syarh Shahih Muslim 16/160)

Dinyatakan pula oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bahwa dusta termasuk ciri orang munafik, sebagaimana dikabarkan Abu Hurairah radiyallahu anhu:

“Tanda orang munafik itu ada tiga: bila bicara dia dusta, bila berjanji dia mengingkari, dan bila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 107)

Berdusta demikian buruk akibatnya. Terlebih lagi berdusta pada anak-anak akan membuka pintu kejelekan yang luas, karena nantinya anak akan menirunya, hingga mereka biasa berbicara dusta dan mengingkari janjinya. (Nashihati lin Nisaa‘, hal. 40) Selain itu, anak akan kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya, sehingga nantinya mereka pun tidak lagi membenarkan orang tuanya dalam berbagai hal. (Fiqh Tarbiyatil Abna‘, hal 240)

Dengan gamblang Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam melarang seorang ibu berdusta kepada anaknya. Ini dikisahkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah Al-’Adawi radiyallahu anhu:

Suatu hari ibuku memanggilku, sementara Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sedang duduk di rumah kami. Ibuku berkata, “Mari sini, aku akan memberimu sesuatu.” Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pun bertanya pada ibuku, “Apa yang akan kau berikan padanya?” Ibuku menjawab, “Aku akan memberinya kurma.” Lalu beliau berkata pada ibuku, “Seandainya engkau tidak memberinya sesuatu, niscaya dicatat atasmu sebuah kedustaan.” (HR. Abu Dawud no. 4991, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)

Kisah ini menunjukkan bahwa setiap perkataan yang ditujukan kepada anak-anak ketika mereka menangis misalnya, baik untuk bergurau atau untuk membohongi si anak bahwa nanti akan diberi sesuatu atau ditakut-takuti dengan sesuatu, adalah haram dan termasuk kedustaan.

Walaupun maksudnya sekedar untuk bergurau dan bercanda, seseorang tetap tidak diperbolehkan mengatakan sesuatu yang dusta, karena Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam mengancam orang yang berdusta dalam candanya, sebagaimana disampaikan oleh Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya:

Saya mendengar Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: “Binasalah orang yang berbicara untuk membuat orang-orang tertawa dengan ucapannya, lalu dia berdusta. Binasalah dia, binasalah dia!” (HR. At-Tirmidzi no. 2315, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)

Dapat dipahami dari ucapan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam ini, tidak mengapa bila seseorang membuat orang-orang tertawa dengan ucapan yang jujur. (Tuhfatul Ahwadzi 6/497)

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sendiri bukanlah orang yang tidak pernah bercanda. Namun canda beliau tidak pernah lepas dari kebenaran. Abu Hurairah radiyallahu anhu mengisahkan bahwa para shahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam:

“Wahai Rasulullah, engkau bercanda dengan kami?” Maka beliau pun menjawab, “Sesungguhnya aku tidak mengatakan kecuali kebenaran.” (HR. At-Tirmidzi no. 1990, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)

Oleh karena itu, orang tua tidak boleh bergurau dengan gurauan yang dusta, juga harus melarang dan menegur apabila mengetahui anak-anak mereka bergurau dengan kata-kata yang dusta.

Kisah-kisah tentang kejujuran dapat pula diceritakan pada anak untuk memberikan gambaran kepada mereka bahwa kejujuran senantiasa akan membawa kebaikan. Sebuah kisah indah tentang kejujuran dituturkan oleh Ka’ab bin Malik radiyallahu anhu, ketika dia tertinggal dari perang Tabuk tanpa satu uzur pun, sementara segala perlengkapan perang telah dia persiapkan. Kisah ini tertulis di dalam Ash-Shahihain (HR. Al-Bukhari no. 4418 dan Muslim no. 2769)

Ka’ab bin Malik menceritakan, ketika ada kabar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sudah kembali dari peperangan itu, dia pun merasa gelisah. Terlintas dalam hatinya untuk berdusta kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam untuk menghindari kemurkaan beliau. Namun Ka’ab yakin, dia tidak akan bisa selamat dari kemurkaan beliau selama-lamanya, hingga dia pun bertekad untuk berkata jujur.

Setiba dari peperangan, seperti kebiasaan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam setiap pulang dari safar, beliau masuk masjid dan shalat dua rakaat. Setelah itu, orang-orang yang tidak ikut dalam peperangan mengajukan uzur masing-masing dan bersumpah di hadapan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Beliau pun menerima pengakuan yang nampak dari mereka, membai’at dan memohonkan ampun bagi mereka dan menyerahkan isi hati mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Hingga datanglah Ka’ab. Ketika Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bertanya tentang uzurnya, Ka’ab menyatakan, “Wahai Rasulullah, andaikan aku duduk di hadapan selainmu dari kalangan ahlu dunia, tentu aku berpikiran untuk dapat keluar dari kemarahannya dengan mengajukan suatu uzur, lagipula aku pandai berdebat. Akan tetapi, demi Allah, aku tahu, seandainya hari ini kukatakan padamu kebohongan yang membuatmu ridha padaku, sungguh Allah Subhanahu Wa Ta’alaakan membuatmu marah padaku. Dan bila kukatakan padamu perkataan jujur yang membuatmu marah padaku, sungguh dengan itu kuharapkan kesudahan yang baik dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Demi Allah, aku tidak memiliki uzur apa pun. Demi Allah, tak pernah diriku sekuat dan semudah seperti saat aku tertinggal dari peperangan bersamamu.”    Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pun bersabda, “Orang ini telah bicara jujur. Bangkitlah, sampai Allah berikan keputusan tentangmu.”

Waktu terus bergulir. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam melarang setiap orang berbicara dengan Ka’ab dan dua orang shahabat lain yang diberi keputusan serupa. Dunia pun terasa sempit bagi Ka’ab. Tak ada seorang pun yang mau menyapanya. Siapa pun, di mana pun. Bahkan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pun enggan bertatap pandang dengannya.

Inilah yang harus dia jalani, hingga lima puluh malam lamanya. Keesokan harinya, usai shalat subuh di atas rumahnya, Ka’ab duduk sembari merasakan kesempitan hatinya. Tiba-tiba terdengar seseorang berseru padanya dari kejauhan, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!” Ka’ab pun tersungkur sujud. Dia tahu, kelapangan itu telah datang. Ternyata ketika shalat Subuh, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam telah mengumumkan di hadapan para shahabat bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerima taubat Ka’ab dan dua orang temannya. Orang-orang pun berdatangan menyatakan kegembiraannya.

Setelah itu, Ka’ab datang menghadap Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Beliau menyambut dengan wajah yang begitu bersinar bagai rembulan karena rasa gembira, “Bergembiralah dengan kebaikan yang kau dapat hari ini, semenjak engkau dilahirkan ibumu.” Ka’ab bertanya, “Apakah ini darimu, wahai Rasulullah, ataukah dari Allah?” “Tidak, bahkan ini dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”

Allah Subhanahu Wa Ta’alaturunkan ayat 117-119 dari surat At-Taubah.

Saat itu Ka’ab mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkanku dengan kejujuranku. Dan termasuk taubatku, aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur seumur hidupku.”

Ka’ab menceritakan, “Demi Allah, aku tak pernah bersengaja bicara dusta semenjak kukatakan hal itu pada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sampai hari ini, dan sungguh aku berharap agar Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetap menjagaku sepanjang sisa umurku.”

Dia juga mengatakan, “Demi Allah, tidaklah Allah memberikan nikmat pada diriku setelah memberikan petunjuk padaku untuk berislam, yang lebih besar daripada kejujuranku pada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, sehingga aku tidak berdusta pada beliau dan binasa seperti binasanya orang-orang yang berdusta.”

Inilah sebuah teladan yang memberikan pelajaran besar bagi anak untuk menanamkan kejujuran dalam dirinya, walaupun untuk mengakui kesalahan.

Demikianlah, tak ada jalan lain bagi orang tua, kecuali berbenah diri dengan mulai membiasakan untuk berkata dan berbuat jujur. Jujur terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’aladan jujur pula terhadap manusia, sehingga terus membiasakan diri untuk jujur setahap demi setahap sampai kejujuran itu menjadi akhlak kita, sebagaimana dalam hadits yang disampaikan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu anhu di atas.

Begitu pulalah pada anak, orang tua harus membiasakan anak-anaknya untuk jujur dalam ucapan, perbuatan maupun dalam penunaian janji, diiringi dengan upaya untuk menjauhkan mereka dari segala kedustaan. Semoga dengan itu, mereka akan menuai kebahagiaan di dunia ini dan di negeri yang kekal abadi. Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar